
Senin, Juli 07, 2008
Kebebasan Pers Suram
Jakarta, Suara Indonesia news - Koran Tempo dikalahkan dan diharuskan membayar kerugian sebesar Rp220 juta kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kemarin. Putusan itu jelas menyakitkan bagi komunitas wartawan karena sangat bertentangan dengan UU Pers No 40/1999. Sebab, yang dilakukan Tempo adalah menjalankan fungsi pers, menjalankan sosial kontrol.
Kalau majelis hakim menyatakan tergugat telah melakukan tindakan penghinaan yang merugikan kehormatan nama baik penggugat. Kemudian, perbuatan tergugat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil, dan menghukum tergugat untuk melayangkan hak jawab dan hak koreksi permintaan maaf kepada penggugat kepada pembaca harian Tempo, hal itu merupakan interpretasi yang salah dalam mengartikan ketentuan hukum khusus atau ’’lex specialis’’ (UU Pers).
Tempo juga harus menyatakan menyesal dan mencabut tulisan yang terkait dengan penggugat, satu halaman penuh pada halaman pertama pada Koran Tempo tujuh hari sejak putusan ini memiliki putusan tetap.
Hal ini jelas-jelas melanggar ketentuan UU Pers dan sulit diterima akal sehat. Sebab, penggunaan hak jawab sudah diatur dalam UU Pers dan kode etik jurnalistik. Intinya harus proporsional. Artinya, kalau beritanya dua kolom maka hak jawabnya tidak boleh lebih dari dua kolom, sama besar di halaman yang sama.
Yang lebih ideal sebenarnya cukup satu kolom saja karena tidak mungkin semua informasinya salah. Kalau dalam berita itu ada lima point yang dimuat dalam berita dan yang salah dua point, maka cukup dua point saja yang diperbaiki, diralat, atau diberi hak jawabnya.
Justru itu, kita sepakat dengan apa yang dikatakan anggota Dewan Pers Abdullah Alimudi bahwa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan merupakan “kuburan” bagi kemerdekaan pers, setelah majelis hakim mengabulkan gugatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terhadap koran Tempo.
Orang pers wajar menyayangkan putusan majelis hakim itu yang banyak tidak mempertimbangkan soal kebebasan pers di tanah air, padahal koran Tempo sudah melaksanakan fungsi koreksi dan kontrol sosial dalam pemberitaannya. Seperti diutarakan Alamudi, putusan majelis hakim merupakan satu bukti bahwa kebebasan pers di tanah air terancam.
Gugatan itu diajukan karena PT RAPP menilai Koran Tempo tidak memuat hak jawab dan hak koreksi secara proporsional, terkait pemberitaan “Pertikaian Menteri Kaban dengan Polisi Memanas” (6 Juli 2007), “Polisi Bidik Sukanto Tanoto” (12 Juli 2007), dan “Kasus Pembalakan Liar di Riau: Lima Bupati Diduga Terlibat” (13 Juli 2007).
Versi penggugat adalah Tempo dinilai telah mencampuradukkan fakta dengan opini, serta dianggap Tempo tidak menyebutkan data secara akurat, hingga merugikan PT RAPP. RAPP menuntut pembayaran ganti rugi material Rp1 miliar dan immaterial Rp500 ribu untuk ganti rugi immaterial, serta Tempo meminta maaf di sejumlah media cetak maupun elektronik secara selama tujuh hari berturut-turut.
Kelihatan sekali kalau masih banyak aparat penegak hukum, seperti hakim tidak mengerti dengan hukum ’’lex specialis’’ yaitu UU Pers No 40 yang intinya memberikan kebebasan pers bagi komunitas wartawan. Oleh karena itu, koran Tempo harus melakukan perlawanan dengan mengajukan banding ke PT, bahkan ke Mahkamah Agung jika putusannya masih tetap membelenggu kebebasan pers.
Insan pers di mana pun berada, khususnya di dalam negeri, harus melakukan perlawanan. Sebab, kalau hal ini dibiarkan, konglomerat harus dimenangkan, pers akan semakin tidak bebas, dan hakim-hakim kelak menjadikan putusan PN Jakarta Selatan sebagai yurisprudensi. Dengan begitu, masa depan pers akan suram.(RED)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar