Selasa, Juni 17, 2008
Sumatera Utara Urutan Tiga Soal Dugaan Korupsi
Suara Indonesia News - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sumatera Utara urutan tiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur soal dugaan korupsi, berdasarkan jumlah pengaduan masyarakat yang diterima KPK.
“Keseluruhan pengaduan yang diterima KPK dari masyarakat Sumut sebanyak 2.290 laporan, terhitung sejak 2004-2008,” kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar didampingi Humas KPK Johan Budi SP kepada wartawan usai memberi materi workshop “Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” diadakan oleh KPK di Garuda Plaza Hotel Medan, Rabu (11/6).
Acara ini dihadiri LSM dan masyarakat juga menggandeng Indonesia Corruption Watch (ICW) diwakili Adnan Topan Husodo turut memberikan materi tentang hak dan kewajiban masyarakat dan cara-cara penyampaian pengaduan tindak pidana korupsi.
Menurut Haryono, dari jumlah pengaduan itu, terkait dugaan korupsi sebanyak 404 laporan. Selebihnya tidak bisa ditangani KPK karena menyangkut perdata dan kasus lain. Dari 404 kasus itu, KPK menurunkannya ke kepolisian, kejaksaan, BPK, Bawasda dan BPKP dalam rangka mendalami informasinya. Kemudian dari 404 laporan itu, lanjutnya, KPK sendiri menangani 34 kasus.
“Kasus per kasusnya saya lupa karena banyak sekali. Di antaranya saja Walikota dan Wakil Walikota Medan Abdillah dan Ramli,” ujarnya.
Menurut Haryono, untuk kasus Walikota Medan Abdillah prosesnya belum selesai. KPK masih mendalami semuanya. Kemungkinan ada tersangka baru dalam kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) dan APBD 2002-2006, Haryono mengatakan kemungkinan itu bisa-bisa saja ada.
“KPK tidak mau terlalu cepat menetapkan tersangka baru, karena ini masalah hukum. Ada tahapannya,” ujarnya.
Haryono mengatakan, untuk kasus dugaan korupsi USU, lanjutnya, masih di pengaduan masyarakat. Begitu pun, lanjutnya, kasus USU tetap dibahas mendalam di KPK.
Menurut Haryono, KPK bisa mengambil alih kasus dugaan korupsi ditangani kepolisian atau kejaksaan, yang sampai hari ini masih mengendap, tetapi harus mengacu kriteria dan mematuhi aturan main sesuai UU No 20 tahun 2002 menyebutkan, kasus itu ada unsur korupsi, berlarut-larut dan terdapat kendala. “Dari kriteria itu, KPK bisa mengambil alih kasusnya.”
Kata Haryono, khusus dugaan korupsi di Sumut yang masih mengendap, nanti kita tanyakan lagi ke kejaksaan karena KPK baru saja melakukan supervisi kepada lembaga penegak hukum itu pada 22 Mei.
KPK akan terus melakukan supervisi kepada kejaksaan dan kepolisian dalam rangka ingin mengetahui kendala penanganan korupsi. Dari sini kita terus dorong. KPK juga mempunyai tugas memberdayakan penegak hukum yang lain agar mereka bisa meningkatkan kinerja. Bukan dengan cara berkompetisi.
Misalnya, soal pemeriksaan terhadap harta kekayaan hakim, KPK telah bekerjasama dengan MA. “Alhamdulillah MA telah mengeluarkan edaran.”
Isi edaran itu, hakim yang tidak melaporkan harta kekayaan, promosinya tidak diperhatikan, mutasi, kenaikan gaji dan pangkat tidak diperhatikan juga. Saya rasa sanksi itu cukup baik untuk mendorong para hakim patuh. Selain itu, lanjutnya, KPK melakukan pelatihan kepada hakim. Kita lakukan di Jambi.
Tahun 2007 dilaksanakan di Pulau Jawa dan akan dilakukan di Sumut ini. Sehingga kita dapat mengetahui kenapa mereka tidak melapor, apakah karena tidak tahu karena banyaknya tugas sidang. KPK akan mengajari mereka dan harus tuntas dalam pelatihan itu.
Menurut Haryono, kelemahannya tidak ada sanksi yang tegas dalam undang-undang pelaporan harta kekayaan. Ini yang membuat banyak pihak tidak mematuhinya.
Ketika disinggung wartawan KPK membuka kantor cabang di Medan, Haryono mengatakan telah mewacanakannya. Haryono mengatakan, KPK bukan lambat menangani kasus-kasus korupsi.
Melainkan dibatasi UU No 30 tahun 2002 bahwa KPK hanya menangani penyelenggara negara. Selain itu, lanjutnya, terkendala dengan nilai kasus yang ditangani harus di atas Rp1 miliar. Di luar itu KPK tidak berhak menanganinya, sehingga KPK meneruskannya ke kejaksaan dan kepolisian.
Begitu pun, lanjutnya, KPK berupaya mengusut dugaan korupsi yang dimulai dari bawah seperti kepala dinas karena dia juga menyangkut penyelenggara negara. Jika ditemukan ada indikasi korupsi ke atas, KPK bisa mengusutnya seperti yang ditemukan di BC Tanjung Priok.
Haryono menegaskan, KPK tidak memiliki target dalam penanganan korupsi karena berkaitan dengan hukum. Katanya, hukum tidak boleh dengan target, jika dengan target jadinya dipaksakan. Kita menginginkan adanya kepastian hukum dan keadilan. Makanya kita mengedepankan bukti sebanyak-banyaknya.
Target Kejaksaan Dikhawatirkan
Sementara itu, Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam workshop mengatakan, target penanganan korupsi pola 5-3-1 (5 Kejati, 3 Kejari dan 1 Kacabjari) yang ditetapkan Jaksa Agung belum bisa dianggap ampuh menangkap para koruptor.
Adnan khawatir karena dikejar target, kejaksaan cukup menangkap tersangka korupsi tingkat kelurahan dan kecamatan.
Kelas kakapnya tidak disentuh. Untuk itu, Adnan mendukung KPK mulai gencar melakukan supervisi dan koordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk mendorong penanganan perkara korupsi.
“Kita telah meminta KPK gencar melakukan supervisi dan koordinasi agar tidak semua kasus ditangani KPK. Begitu juga pengaduan-pengaduan masyarakat Sumut yang diterima KPK dan terbatas ditangani KPK bisa dikontrol lebih ketat di kepolisian dan kejaksaan. Hal ini sesuai UU KPK,” ujarnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar