Senin, Mei 16, 2011

Benarkah "Suara Kita Suara Hening"?


Hans bukanlah seorang solitaire yang hanya mengungkapkan emosionalnya dalam bentuk tulisan. Namun, ia terlibat langsung dalam aktivitas yang ditulisnya. Bila ia menulis soal buruh, maka ia masuk dalam aura buruh itu sendiri, demikian pula bila bicara hak pelanggan air minum, itu karena dia sendiri adalah pelanggan air PAM sendiri.
Ini ia rasakan pasca Reformasi Mei 1998 yang cukup lama dengan aksi euphoria dimana-mana, dengan menulis Tersenyumlah Wahai Buruh di Harian Suara Bangsa, yang diterbitkan 23 April 1999 menjelang Hari Buruh 1 Mei 1999. Ia menilai nasib buruh masih tragis hingga saat itu dengan hanya menjadi sapi perahan. Ini dilihatnya pada saat sikap pemerintah yang kurang membela andaikan terjadi penindasan terhadap buruh migrant. Banyak kasus mencuat hanya sebentar dan kemudian senyap (halaman 1).
Bukan hanya suara buruh saja yang menjadi perhatian penulis, ternyata para pengurus serikat pekerja pun menjadi perhatiannya. Dalam “Aneh, Menakertrans PHK Pimpinan Buruh” pada halaman 47, penulis merekam jejak para aktivis serikat pekerja yang melakukan demonstrasi di Kantor Depnakertrans. Sekjen Komite 17, Satya menilai sikap arogan Menakertrans yang saat itu dipimpin oleh pengusaha Fahmi Idris. Menteri sengaja mencabut keberadaan Komite 17 karena dianggap sudah tidak efektif lagi keberadaannya dalam Tim Evaluasi Kinerja Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
Pandangan politik tanah air dengan tajam Hans mengatakan “Soeharto Tidak Mungkin Dipenjara” dimuat di Jurnal Indonesia (25 September 2000) dengan 10 alasan logis, mulai dari pernyataan sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang sering melontarkan sikap enggannya untuk mengadili Soeharto (halaman 55), sampai pada masalah kinerja cabinet dan pribadi Presiden Gus Dur yang sering diterpa isu dan menuai berbagai kritik ketidakpastian.
Dalam ketiga, Hans menulis, bahwa “Yang Bikin Bopeng Hukum Justru Penegak Hukum”, dimulai dari Bawasda Firman Hutajulu yang dinilai kurang optimal kinerjanya (halaman 152) sampai pada tuntutan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada Kapolri soal anarkisme di di halaman dan kantor TEMPO , Maret 2003.
Pada bagian terakhir, mengenai nasib masyarakat yang mencari nafkah , Hans mencermati “Nasib PKL di Imam Bonjol” (halaman 168) yang menimpa Mujahidin yang menderita kerugian 10 juta karena 2 unit warung komplit (warkom) yang dibelinya dari Bamuhas KOSGORO tetap digaruk oleh Pemprop DKI Jakarta! Demi mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkannya, Muhidin ban pengemis di hadapan Kosgoro. (halaman 169).
Semua teriakan orang kecil, orang pinggiran dan orang lemah lainnya hanyalah menghadapi kesia-siaan. Penguasa ini seakan tidak bergeming dan tetap berjalan bak kuda dengan kacamatanya. Mampukah tulisan merubah sesuatu.
Tulisan ini tidak memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, tapi ia hanya mempersilakan pembacanya untuk menilai, sejauh mana tulisan mampu merubah statusquo yang selalu kuat bertahan mempertahankan kekuasaannya.
Namun, Hans sejak awal sudah memberikan harapan sebuah perubahan bersama dengan kalimat ajakannya…., andaikan semua orang sudah masuk dalam sebuah komunitas besar yang mencintai tanah air, apakah benar KITA masih juga akan dianggap suara hening?

Tidak ada komentar: