Jumat, Maret 27, 2009

“AKU BICARA LANTARAN HATI” Watu Ulo saksi bisu, Film Pro-Kontra Rokok Akan Dibuat di Jember dan Banyuwangi


Jember, Suara Indonesia News - Seniman satu ini ada saja kiprahnya yang baru. Selepas meluncurkan buku “Menjadi Bintang – kita Sukses Jadi Artis Panggung, Film dan Televisi,” Eddie Karsito akan menyutradarai film layar lebar, menyoal pro-kontra rokok. Beberapa film yang dibintanginya saat ini masih beredar di sejumlah bioskop. Dua diantaranya film “Kalau Cinta Jangan Cengeng” (Sinemart Pictures) dan film “Hantu Biang Kerok” (Djakarta Pictures).

Ada yang menarik, dari upaya yang dilakukan aktor yang juga wartawan ini. Soal gagasannya memotret kisi-kisi kehidupan petani tembakau. Dari mulai fatwa rokok haram, rokok racun kehidupan, industri rokok menyerap tenaga kerja, hingga rokok menyumbang pendapatan negara.“Tapi kami tidak pada posisi memihak. Pro atau kontra. Kami hanya ‘tukang potret.’ Atau mungkin ini cermin,” tukas Penyandang gelar Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 2008 ini memberi alasan.

Seluruh proses produksi dan lokasi shooting film ini, kata dia, akan dilaksanakan di Jember, Banyuwangi dan sekitarnya. Melibatkan sejumlah artis papan atas, selain juga para pemain lokal. Menurut rencana pengambilan gambar akan dimulai Juli-Agustus 2009 mendatang. Dalam waktu dekat ini Eddie dengan Yayasan Humaniora yang didirikannya bekerjasama dengan Cherries Production, akan menggelar casting (pemilihan pemain) di Lumajang, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi dan Jember. “Skenarionya baru rampung saya tulis(judul sementara : “Aku Bicara Lantaran Hati”). Selanjutnya kami akan open-casting di beberapa kota di Jawa Timur,” paparnya.
Apa yang melatar-belakangi pembuatan film ini? Kami suguhkan hasil wawancara lengkap dengan peraih penghargaan Juara 1 Festival Film Independen Indonesia (FFII SCTV) Tahun 2003 ini.
______________________________________________________

Eksistensi Anda makin lengkap, penulis, aktor dan sutradara?
Bikin film (baca: seni peran) menjadi salah satu alternatif saja dari begitu banyak pilihan. Seni peran sudah seperempat abad menjadi ruang kreatif saya, diawali dari panggung (teater).

Apa setting cerita film ini?
Kami ingin menyoal rokok sebagai issue utama. Tentu ada content lain agar karya ini menjadi lebih lengkap. Tentang marginalisasi (mustad’afin), kompleksitas kekuatan ekonomi dan monopoli bisnis. Tentang musik, tentang seni tradisi hingga percintaan yang menguras hati. Pokoknya kami berusaha tak sekedar menyuguhkan sebuah film kepada penonton. Tapi ini sebuah realitas dan perilaku. Lewat kerja kreatif ini kami juga ingin berbagi keceriaan, kebersamaan dalam kesederhanaan.

Konflik yang ingin dikedepankan soal rokok?
Rokok menjadi masalah paling pro-kontra di seluruh penduduk bumi mana pun. WHO (World Health Organization) menyimpulkan rokok berbahaya. WHO merekomendasikan untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok harus diberlakukan peraturan 100% bebas asap rokok di tempat-tempat umum.Organisasi Kesehatan Dunia ini juga mencanangkan setiap tanggal 31 Mei diperingati “Hari Tanpa Tembakau Sedunia.”

Pemerintah juga menghimbau lewat peringatan yang tertera pada kemasan dan penyampaian iklan rokok. Bahwa rokok dapat menyebabkan kanker, penyakit pernafasan serta kardiovaskuler pada anak-anak serta orang dewasa, mempercepat kematian dan lain-lain.

Bahkan para ulama (Majelis Ulama Indonesia)lebih tegas mengharamkan rokok. Rokok dikategorikan khamar, segala sesuatu yang merusak badan, otak, kesehatan. Termasuk israf (membuang-buang uang).

Tetapi di sisi lain,ribuan orang nasibnya bergantung pada rokok (tembakau). Dilarangnya rokok akan mematikan jutaan petani tembakau. Perusahaan rokok akan merugi. Dampaknya jutaan pekerja di perusahaan rokok terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sisi lain setiap tahunnya pemerintah mendapat triliunan rupiah dari pemasukan cukai rokok.

Posisi Anda?
Kami tidak pada posisi memihak. Pro atau kontra.Kami hanya ‘tukang potret.’ Biar masyarakat yang menilai hasil potretnya. Atau mungkin ini ‘cermin.’ Dan setiap orang bebas bercermin.

Seperti apa film ini nanti dibuat?
Kami murni membuat film cerita (fiksi)dengan sebisa mungkin memotret realitas yang ada, independen, artistik dan komersil.

Realitas, artinya setting cerita yang kami bangun mendekati realitas kehidupan masyarakat setempat. (Dalam hal ini masyarakat yang menggantungkan nasibnya dari bertani tembakau).

Independen, karena seluruh proses produksi hingga pembiayaan tidak ada campur tangan “cukong” (produser). Murni dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakat yang mana? Masyarakat yang menginginkan film tumbuh menjadi industri besar dan menjadi kekuatan budaya. Kami share.

Artistik, artinya film ini dibuat seindah mungkin dan semenarik mungkin, bentuk tanggung jawab kami sebagai sineas (baca: seniman bukan sekedar pekerja film). Sebuah karya seni yang memesona sebagai tontonan dan ideal sebagai tuntunan.

Komersil, artinya kami juga menempatkan karya ini sebagai produk industri (komoditas) yang harus laku dijual. Harapan kami setidaknya ‘balik modal’ supaya tetap bisa bikin film lagi. Film terus tumbuh. Dapat menampung jutaan pekerja yang menggantungkan nasibnya di industri ini.

Oleh karenanya, film ini nanti bukan sekedar ‘klangenan’ (kesenangan-hoby) saja, tapi menjadi karya sinematografi yang layak diputar di bioskop, di televisi dan dapat berkomunikasi secara efektif dengan penontonnya.

Jember dan Banyuwangi sebagai setting utama?
Sesuai tema;‘content lokal issue global.’ Lokal artinya, kebutuhan cerita dibuat berdasarkan fenomena masyarakat Jember dan Banyuwangi yang sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya adalah tembakau. Berdasarkan catatan sejarah masyarakat Jember dan sekitarnya bertani tembakau sejak zaman Belanda. Bahkan di Jember kami temukan sebuah makam tua bertarikh 1859. Makam ini adalah makam Mbah Djamilah Birnie, perempuan Madura yang dinikahi Tuan George Birnie -- orang Belanda yang dulu pertama kali mengajarkan masyarakat pribumi menanam tembakau. Cerita ini akhirnya menjadi salah satu scene dalam film ini.

Global artinya; content yang kami angkat(rokok)bukan hanya problem lokal atau nasional, tetapi internasional. Masyarakat dunia tahu rokok dan bahkan mengkonsumsinya. Karenanya ini issue menarik. Harapan kami secara content maupun artistik film ini dapat disertakan di ajang apresiasi film internasional.

Anda melibatkan potensi lokal?
Membuat film bukan monopoli Jakarta. Artinya film dapat dibuat di mana saja, oleh siapa saja. Termasuk orang-orang daerah dan dikerjakan di daerah. Melibatkan potensi lokal, karena seluruh komponen pembuatan film ini; dari sejak mengidekan (gagasan), sumber daya manusia-nya (SDM), penentuan setting lokasi, sampai pendanaan semua bersumber dari lokal, khususnya lokal Jember, Banyuwangi dan sekitarnya.

Mekanismenya seperti apa?
Kami menyadari semakin banyaknya anak-anak daerah yang ingin terjun di dunia entertainment, khususnya seni peran. Upaya (bikin film) yang kami lakukan setidaknya bisa memberi sarana kreatif buat mereka. Kami menyebutnya ‘semangat berbagi.’

‘Semangat berbagi’ seperti apa. Sineas profesional; mulai aktor, aktris, sutradara dan designer produksi, kami datangkan dari Jakarta. Mereka secara suka rela berbagi ilmunya dengan calon-calon sineas di daerah. Melalui Lembaga Edukasi Yayasan Humaniora kami menggelar workshop. Pembelajaran tentang film, meliputi manajemen produksi film; pra-produksi, produksi dan pasca produksi. Intinya, sumber daya manusia (SDM) asal daerah ini akan kami siapkan untuk menjadi sineas secara profesional, baik untuk menjadi talent (artis), maupun pekerja film-nya (crew).

Upaya ini disambut baik dan mendapat dukungan masyarakat secara luas. Tinggal kami menunggu respon dari pemerintah setempat (Pemerintah Daerah Jember dan Pemerintah Daerah Banyuwangi). Setidaknya film ini dapat diberdayakan sebagai sarana promosi wilayah, menyangkut kekuatan budaya dan pariwisata yang muaranya bisa mendongkrak naik Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menarik minat investor untuk melakukan kegiatan di bidang industri pariwisata.

Secara komersial Anda terlalu berani ‘menjual’ sesuatu yang tidak populis. Serba lokal, artis lokal dan pendatang baru misalnya?
Tidak melulu artis lokal, tapi kami juga melibatkan artis profesional yang cukup dikenal. Banyak teman-teman artis yang sudah bersedia mendukung. Ketika gagasan ini kami tawarkan mereka cukup antusias ingin menjadi bagian dari proyek ini. Bahkan ada yang merelakan tidak dibayar. Tapi kami tetap profesional. Dan menempatkan mereka sebagai profesional. Artinya meski ini proyek ‘idealis’ (baca: tetap memenuhi standar komersil), mereka akan kita bayar secara profesional. Tidak ada yang gratis. Mereka tidur saja kita bayar, apalagi melakukan sesuatu yang dapat memberi manfaat untuk orang banyak.

Bisa disebut siapa mereka?
Untuk alasan profesional kita belum bisa sebutkan siapa nama-nama artis top yang terlibat. Tetapi yang pasti mereka telah menyatakan kesediaannya secara lisan, ketemu langsung, maupun lewat pesan SMS(Short Message Services). Bahkan beberapa diantara mereka sejak awal ikut mengilhami pembentukan karekter dalam penulisan cerita.Artinya untuk membuat karakter tertentu tercipta karena melihat sosok mereka.

Soal film independen bisa bercerita lebih jauh?
Bicara film setuju atau tidak kita masih berkiblat ke Barat. Dalam hal ini Amerika. Di Amerika film independen lebih berorientasi pada masalah ekonomi. Para sineas membuat film dengan biaya sendiri. Bagi mereka persoalannya sebenarnya bukan masalah biaya, tapi yang lebih penting mereka terbebas dari intervensi Hollywood. Khususnya dalam hal penyusunan cerita sampai dengan masalah menentukan pemain.

Di Indonesia, membuat film independen – sekurang-kurangnya menurut pandangan kami -- terlepas atau di luar sistem produksi yang dianggap mapan. Padahal yang dianggap mapan belum tentu ideal. Kami bikin film independen karena ingin lepas dari “interpensi cukong” -- dari pola produksi yang kami anggap kurang memenuhi standar produksi.

“Interpensi cukong” yang Anda maksud?
Sineas kita sebenarnya cerdas-cerdas. Mereka semua bisa membuat film bagus. Selama diberi kesempatan. Tapi belum semua mendapat kesempatan untuk lepas dari prinsip ekonomi kapitalis; ‘Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya.’ Dampaknya tak jarang kreatifitas terbatas karena kepentingan kapital. Karya dibuat dengan cara instan, persiapan yang kurang matang, kerja diburu waktu (streping – kejar tayang), hingga biaya produksi yang tak ‘manusiawi’ dengan kata lain murah.

Anda yakin sekali dengan gagasan ini?
Yakin, insya Allah. Atas izin-Nya. Kita adalah pelaku sejarah. Tugas kita bagaimana membuat sejarah terus berubah. Berubah memang sulit. Tetapi tidak berubah adalah fatal./*

Jakarta, Maulid Nabi Muhammad SAW, Senin 9 Maret 2009
Pewawancara : Ahmad Robith/suaraindonesianews.com

1 komentar:

Ade mengatakan...

............Bahkan di Jember kami temukan sebuah makam tua bertarikh 1859. Makam ini adalah makam Mbah Djamilah Birnie, perempuan Madura yang dinikahi Tuan George Birnie -- orang Belanda yang dulu pertama kali mengajarkan masyarakat pribumi menanam tembakau...............
Saya baru saja meneliti mengenai makam itu, dan saya menemukan bukti otentik bahwa :
1. Makam Djamelah Birnie bukan berada di Jember, tetapi di kecamatan Maesan, Bondowoso.
2. Djamelah Birnie bukan di peristri oleh George Birnei, tetapi oleh Gerhart Birnie (sepupu George Birnie).
3. Pada nisan makam tersebut tertulis Djamela Birnei lahir 30 Juni 1845 meninggal 14 April 1908, bukan 1859.
Demi kebenaran sejarah, mohon tulisan/hasil karya anda dapat dikoreksi kembali. Kunjungi Blog: www.adecentre.blogspot.com / adeindonesia@gmail.com. Tanks.