Jumat, September 12, 2008

Antasari Azhar: Menemukan Jati Diri di KPK

Suara Indonesia News - Nyaris tidak ada orang yang tidak kenal Antasari Azhar. Sosok yang pada awalnya diragukan komitmennya pada pemberantasan korupsi Ini, kini telah menjadi ikon pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pada saat mencalonkan diri sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berbagai isu dikaitkan dengan dirinya. Mulai dari kasus Tommy Soeharto, Bupati Konawane, Bupati Muna, hingga pemberian uang pada seorang wartawan. "Ada teman menyarankan gugat saja. Itu semua tidak benar, semua terdokumentasi," kata Antasari.

Antasari tidak mengikuti saran temannya untuk melayangkan gugatan. Ia memilih menjawab dengan cara lain : bekerja. Di bawah kepemimpinanya, KPK membongkar korupsi di lembaga-lembaga yang tak pernah terjamah hukum. Mulai dari BI, DPR, hingga Kejaksaan Agung yang merupakan korps Antasari sendiri.

Seiring pujian dan harapan pada KPK, banyak pihak ketakutan dan mulai mempertanyakan kewenangan KPK yang terlalu besar, seperti penyadapan.

Berikut petikan wawancaranyaBagaimana perubahan Anda dari Kejaksaan Agung ke KPK?
Nggak ada perubahan dalam hal penegakan hukum. Kalaupun ada perubahan, dulu di sana saya bukan orang pertama, sekarang pertama. Ada dua hal yang paling menonjol. Pertama, di KPK kita lebih bisa meng-create dalam melaksanakan tugas. Kebijakan bisa lebih diatur harus bagaimana, misalnya harus cepat penyelesaian. Yang kedua, di KPK saya merasa menemukan jati diri. Karena, semuanya serba tidak boleh. Jadi, kita harus menempatkan diri secara benar. Di sini kan menjadi sorotan, karena kita disorot kita harus menjaga jangan sampai dikatakan, "Masak sosok penegak hukum kayak gitu."

Berarti di tempat tugas yang dulu banyak bolehnya?

Ya jangan diartikan seperti itu. Kalau penanganan perkara nggak ada yang beda. Dulu nerima parcel biasa karena belum ada aturan. Orang datang minta tolong banyak, tapi nggak pernah saya turuti. Jangan sekali-kali datang ke saya mengubah prinsip, ini A tolong diubah B.

Sejak Anda jadi Ketua KPK jadi lebih membatasi diri?

Ya, misalnya ketemu orang, jangan sampai ketemu orang besoknya jadi bermasalah. Saya sudah dua kali ketemu seperti itu. Pernah ada bupati di Sumatera, waktu itu foto ramai-ramai terus di-croping berdua, masuk koran. Saya sekarang misalnya datang ke kawinan, salaman langsung pulang. Dulu sering pulang kantor nunggu macet minum di mana sekarang tidak bisa lagi. Di KPK orang juga nggak bisa sembarangan masuk menemui pimpinan KPK.

Sebagai jaksa, bagaimana Anda menempatkan diri dalam kasus Urip yang juga menyeret petinggi-petinggi Kejagung?

Saya sering ketemu orang-orang kejaksaan, beberapa kali ceramah di sana. Jaksa kan ada 7 ribu. Yang bermasalah seperti Urip ya hanya Urip sendiri. Tidak semua seperti Urip, masih banyak yang baik. Jadi, ya tidak ada masalah.

Sejak kasus Urip-Artatyta mencuat, pernahkah Anda bertemu Kemas Yahya (mantan Jampidsus)?

Pernah ketemu sekali dengan Kemas waktu adik saya meninggal. Dia datang, takziah. Nggak ada kikuk, biasa aja. Kita penegak hukum. Seorang penegak hukum tahu apa yang harus dilakukan satu sama lain. Nggak ada masalah.

Kenapa korupsi bisa terjadi di institusi Kejaksaan, DPR dan BI?

Pertama, karena tidak ada kekuatan diri pada perilaku. Tidak ada pertahanan diri. Mestinya punya keyakinan yang bukan hak adalah haram, mengganggu orang tidak boleh. Kedua, karena sistem. Harus ada perubahan, penataan, untuk memperkecil peluang korupsi. Misalnya, bagaimana agar orang yang berperkara sulit bertemu orang yang menangani perkara. Harus disiapkan loket, komputerisasi, jangan sampai orang berperkara ketemu jaksa dan polisi. Dengan sistem itu kita amankan petugas. Jaksa di kantor mereka didatangi orang berperkara, saya kira nggak ada Jaksa keliaran di pasar-pasar nawarin perkara. Jadi, aman.

Banyak yang berpendapat hukuman penjara terlalu ringan untuk koruptor. Bagaimana pendapat Anda tentang sanksi sosial bagi koruptor?

Susah berbicara sanksi karena erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Hukuman mati, misalnya, dikatakan bertentangan dengan HAM. Kemarin baju tahanan juga dikatakan melanggar, padahal itu baju tahanan, bukan baju koruptor. Saya justru punya pemikiran kalau misalnya koruptor yang divonis hilang hak-hak keperdataan. Misalnya, untuk Jadi Direktur Bank nggak bisa lagi. Susahnya nanti dikatakan melanggar HAM lagi. Karena, katanya orang kan nggak selamanya bersifat jelek. Susah kalau kita terlalu permisif.

Anda berminat terjun ke dunia politik?
Enggak. Saya tahu diri, saya belum pantas jadi Presiden atau Wakil Presiden. Pokoknya saya ingin di lingkup penegak hukum. Saya diamanatkan sampai 2011. Sekarang ini saya biarlah berkiprah dulu di penegakan hukum. Makin kita menyentuh sesuatu, makin kita melihat banyak persoalan yang harus kita benahi.

Tapi, Anda kan begitu populer saat ini?
Saya ini baru 20 sampai 30 persen melangkah. Banyak yang masih harus diperbaiki. Pemberantasan korupsi pada pengadaan barang dan Jasa baru di permukaan. Kita belum menyentuh masalah sumber daya alam, tata niaga, lembaga-lembaga yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat seperti asuransi, tenaga kerja, pengelolaan transportasi umum untuk masyarakat. Jadi, biarkan saya bekerja lebih dulu.

Tidak ada komentar: